Senin, 31 Agustus 2009

Limbah Cassava Jadi Nata

SESUDAH MODIFIED CASSAVA FLOUR ALIAS TEPUNG MOCAF SEBAGAI SUBSTITUSI TERIGU, KINI MUNCUL NATA DE CASSAVA. NATA SINGKONG ITU DIOLAH DARI LIMBAH TAPIOKA YANG SELAMA INI TAK TERMANFAATKAN. TEROBOSAN TERBARU UNTUK MENGATASI POLUSI SEKALIGUS MENDATANGKAN OMZET BESAR.

Bertahun-tahun Ashari membiarkan limbah produksi tapioka-600 liter cair dan 100 kg padat per hari-teronggok di sisi halaman rumahnya. Setiap hari produsen tapioka di Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, itu mengolah 200 kg singkong segar menjadi tapioka. Sebagian kecil limbah itu memang termanfaatkan. Tetangganya meminta limbah itu sebagai campuran pakan ternak dan pupuk tanaman. Selebihnya ia biarkan mengonggok dan menimbulkan aroma tak sedap.


Namun, sejak awal 2009 ia menampung limbah tapioka atas permintaan Indra Tri Wibowo dan Margiyanto. Setiap hari keduanya membeli onggok alias limbah padat Rp150 dan cair Rp100 per kg. Keruan saja Ashari senang karena masalah polusi teratasi, pekarangan rumah lebih bersih, dan omzet bertambah. Indra dan Margiyanto mengolah limbah tapioka itu menjadi penganan lezat: nata de cassava.

Sianida


Setiap hari-kecuali Ahad-mereka memproduksi 150 kg nata de cassava. 'Ada permintaan rutin 80 ton per minggu, tapi belum bisa dipenuhi,' kata Margiyanto. Bila ia mampu melayani permintaan besar itu, omzetnya bakal kian gemuk.


Semula Margiyanto berencana membuat nata dari singkong segar. Pemuda asal Blitar, Jawa Timur, itu lalu berkonsultasi dengan dosen yang menyarankan agar mengolah limbah tapioka, bukan singkong segar. Alasannya sederhana, singkong segar banyak diolah menjadi beragam produk seperti tepung mocaf, dekstrin, dan glukosa cair.


Di sisi lain, limbah tapioka mengandung gula sehingga memungkinkan untuk diolah menjadi nata de cassava. Kadar limbah tapioka 5-7%. Menurut Dr Ir Nur Richana MSi, periset di Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, setiap bahan mengandung gula potensial sebagai nata. Khusus olahan limbah tapioka harus diperhatikan kadar asam sianida yang dapat mengganggu kesehatan.


Bentuknya persis nata de coco, penganan yang terbuat dari air kelapa, berwarna putih bersih, dan kenyal saat digigit. Cara konsumsinya pun sama, setelah dipotong dadu, konsumen menambahkan sirup dan air matang secukupnya. Pada bulan Ramadan seperti ini berbuka puasa dengan nata de cassava sungguh menyegarkan.

Oleh karena itu, 'Proses fermentasi harus dilakukan sampai limbah cair habis sehingga asam sianida juga habis terdegradasi,' ujar doktor Teknologi Industri Pertanian alumnus Institut Pertanian Bogor itu. Indra mengatakan sebelum dikonsumsi nata de cassava terlebih dahulu direbus 2 kali karena kenyal. Dengan perebusan itu kadar asam sianida yang masih terdapat dalam nata de cassava ikut hilang.

Asam cuka

Bersama Muhammad Farid Al Farisy dan Nurkartika Indah Mayasti, Indra dan Margiyanto mengolah limbah tapioka itu. Mereka berempat adalah mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Lokasi produksi di sisi pabrik tapioka milik Ashari. Untuk membuat nata de cassava, mereka merebus onggok dan limbah cair tapioka pada suhu 100oC selama 2 jam. Sekilo onggok membutuhkan 5-6 liter limbah cair.


Setelah dingin mereka menyaring rebusan itu untuk memisahkan air dan ampas. Indra lalu menambahkan pupuk ZA ke dalam air rebusan. Setiap satu kilo air rebusan butuh 2 g ZA sebagai sumber nitrogen bagi pertumbuhan bakteri fermentor. Campuran itu lalu direbus kembali hingga mendidih. Setelah dingin, air rebusan dituangkan ke atas nampan plastik berukuran 30 cm x 40 cm. Setiap nampan menampung 1,2-1,5 liter.


Kemudian nampan ditutup dengan kertas koran. Tujuannya untuk menghindari kontaminasi selama fermentasi. Dua belas jam berselang, ia menambahkan bakteri fermentor, Acetobacter xylinum, ke atas larutan nata di dalam nampan. Jatah untuk setiap nampan 108 ml. Setelah itu nampan diletakkan di ruang bersuhu 25-28oC. Sepekan kemudian di dalam nampan terbentuk lembaran putih, itulah nata de cassava.


Dalam pembuatan nata de cassava sama sekali tidak menghasilkan aroma tak sedap seperti pada produksi nata de coco. Keunggulan lain nata de cassava adalah bahan baku berkadar gula tinggi sehingga tidak memerlukan penambahan gula. Selain itu limbah cair tapioka bersifat asam pH 3-4 sehingga sesuai dengan lingkungan tumbuh bakteri fermentor, Acetobacter xylinum. Bandingkan dengan proses pembuatan nata de coco yang perlu tambahan 3-4% gula. Sebab, kandungan gula air kelapa rendah, 2-3%.


Pembuatan nata de coco juga perlu penambahan 20 ml asam cuka per liter air kelapa supaya pH bahan baku menjadi asam, sesuai kebutuhan tumbuh bakteri fermentor.

Menurut Indra dengan keunggulan itu biaya produksi nata de cassava jadi lebih murah, Rp250, nata de coco Rp525 per kg. Harga jual kedua nata itu sekitar Rp750-Rp800 per kg. Indra menjual nata kepada produsen makanan di Bantul. Kini, setelah disulap menjadi nata de cassava onggok pun menjadi lebih berharga. (Ari Chaidir)

Sumber : Trubus

Bukti Sahih Gadung Antidiabetes


BATAS ANTARA RACUN DAN OBAT MEMANG SANGAT TIPIS. DI UMBI GADUNG KEDUANYA MALAH MENYATU, TANPA BATAS. NAMUN, DENGAN PENGOLAHAN TEPAT, RACUN HILANG SEHINGGA UMBI ANGGOTA FAMILI DIOSCOREACEAE ITU TERBUKTI ANTIDIABETES MELLITUS.


Begitulah hasil riset ilmiah Endang Sri Sunarsih Apt MSi, peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Ia menguji khasiat gadung terhadap 20 tikus putih galur wistar, jantan, dan berumur 2-3 bulan. Tikus-tikus itu dibuat mengidap diabetes dengan pemberian 150 mg aloksan per kg bobot tubuh. Aloksan bersifat hidrofilik alias mudah berikatan dengan air. Zat kimia itu menginaktivasi enzim glukokinase dan menimbulkan reaksi oksidasi pada sel-sel beta-pankreas sehingga produksi insulin terganggu.


Endang mengelompokkan satwa uji itu dalam 4 grup, masing-masing terdiri atas 5 ekor. Apoteker itu memberikan 12,6 IU insulin per kg bobot tubuh pada kelompok I yang merupakan kontrol positif. Sedangkan kelompok II merupakan kontrol negatif dan diberi 5 ml akuades. Endang memberikan masing-masing 630 mg dan 1.260 mg infus umbi gadung kepada kelompok III dan IV. Setiap perlakuan itu diberikan sekali sehari selama 2 pekan.


Untuk membuat infus, Endang meniru teknologi proses yang biasa diterapkan oleh produsen keripik gadung. Mula-mula ia mengupas umbi, mengiris tipis-tipis, mengolesi irisan umbi dengan abu gosok, dan mengepres hingga air keluar. Alumnus Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada itu lalu menjemur umbi hingga kering, merendam 2 malam, mengukus, dan menjemur kembali hingga kering.


Pengirisan, perendaman, dan pengeringan gadung menekan kadar sianida hingga 85% sehingga gadung aman dikonsumsi. Perendaman umbi dalam larutan garam 8% selama 3 malam, misalnya, hanya menyisakan 7 ppm sianida. Menurut Food and Agriculture Organization kadar sianida 50 mg per kg bobot tubuh masih aman dikonsumsi. Umbi kering itu diblender kemudian dipanaskan dalam air bersuhu 90oC selama 15 menit. Air itu lalu disaring dan diberikan kepada mencit-mencit di grup III dan IV.


Gula turun


Pada hari ke-4, 7, 10, dan 14, Endang mengecek kadar gula darah binatang percobaan Rattus norvegicus itu. Hasilnya kadar gula darah turun pada kelompok yang diberi infus umbi gadung. Pada kelompok III gula darah turun menjadi 175 mg/dl; kelompok IV, 125,16 mg/dl-gula darah sebelum pemberian infus umbi gadung masing-masing 261,95 mg/dl dan 438,16 mg/dl (lihat tabel).


Bahkan penurunan gula darah pada grup IV itu setara kelompok yang diberi insulin, 122,62 mg/dl. Sebelum diberi insulin, 421,99 mg/dl. Persentase penurunan kadar gula pada kelompok IV mencapai 28,64% tak kalah ketimbang kelompok I (29,34%). Artinya, umbi gadung berpotensi sebagai alternatif obat diabetes.


Menurut Endang gula darah turun setelah pemberian infus lantaran umbi gadung menghambat kerusakan sel-sel beta-pankreas. Dampak penghambatan itu adalah produksi insulin dalam tubuh kembali stabil. 'Aloksan memicu kerusakan pankreas, pemberian infus umbi gadung mampu menghambat kerusakan itu,' ujar Endang. Sayangnya, Endang belum mengungkap senyawa aktif dalam umbi gadung yang menurunkan kadar gula darah.


Untuk mengatasi diabetes mellitus, Endang menyarankan pasien untuk mengkonsumsi 5-10 g umbi gadung per hari selama 7 hari. Boleh dalam bentuk olahan keripik atau cukup dikukus. Setelah itu hentikan sementara konsumsi umbi gadung Dioscorea hispida. 'Karena dari hasil penelitian, pemberian infus umbi gadung lebih dari 7 hari mengakibatkan fluktuasi peningkatan kadar glukosa darah. Walaupun pada hari ke-10 dan ke-14 terjadi penurunan kadar gula kembali,' ujar Endang. Konsumsi gadung dapat dilanjutkan bila gula darah naik lagi.


Racun


Selain berkhasiat obat, gadung memang terkenal sebagai tumbuhan beracun. Senyawa toksik seperti dioskorine dan asam sianida menyebabkan kejang, pusing, mual, dan muntah. Namun, bila diolah dengan benar efek toksik gadung dapat dihilangkan dan memiliki banyak kegunaan. Buktinya sejak dulu gadung menjadi pangan alternatif bagi sebagian masyarakat Indonesia.


Dalam Tumbuhan Berguna Indonesia, K Heyne menyebutkan masyarakat Bali mengkonsumsi umbi gadung dengan cara digoreng dan dibubuhi kelapa parut. Di Ambon umbi gadung ditumbuk, dicampur dengan tepung sagu, lalu dibuat roti. Rasanya lebih enak ketimbang roti sagu biasa. Sedangkan di Jawa gadung diolah menjadi keripik.


Heyne menuturkan sebagai herbal, gadung digunakan untuk mengobati kusta. Umbi gadung dipotong kecil dan direbus dengan cabai jawa Piper retrofractum, lada putih Piper nigrum, gula kelapa, dan kelapa parut. Air rebusan bahan-bahan itu lalu diminum, sedangkan ampas rebusan dioleskan di bagian tubuh yang luka. Kombinasi parutan gadung dan gadung cina Smilax china digunakan untuk mengatasi sifilis.


Pemanfaatan umbi gadung untuk mengatasi diabetes mellitus belum populer. Menurut Endah Lasmadiwati, herbalis di Rawamangun, Jakarta Timur, gadung bagus sebagai camilan untuk pengidap diabetes. Musababnya, kandungan karbohidrat gadung relatif rendah. Hasil penelitian Direktorat Gizi Departemen Kesehatan menyebutkan setiap 100 g umbi gadung mengandung 23,23% karbohidrat, beras 78,9%. Artinya, dengan kadar karbohidrat yang lebih rendah, gadung bisa menjadi pangan alternatif bagi diabetesi alias penderita diabetes.


Selama ini mereka memanfaatkan obat diabetes seperti golongan sulfonil urea dan biguanida serta suntikan insulin. Sayangnya, harga obat-obatan itu relatif mahal dan pasien mesti menggunakan dalam jangka panjang yang menimbulkan dampak buruk. Oleh karena itu pasien mencari obat alternatif yang murah, mudah diperoleh, dan aman alias efek samping jauh lebih kecil ketimbang obat sintetis. Gadung mempunyai persyaratan itu. Di balik racun, gadung menawarkan khasiat antidiabetes yang terbukti secara ilmiah. (Ari Chaidir)


Sumber : Trubus